Dua hari yang lalu, sedang aku membaca status Facebook orang, aku terpaku pada satu status. Status itu menyatakan bahawa seorang sahabat aku yang aku kenal sewaktu belajar di Permatang Pauh berada di hospital di dalam keadaan kritikal, yang mana beliau hanya mempunyai 30% peluang untuk selamat. Beliau mengidap denggi berdarah.
Mula - mula ingatkan lain orang. Tapi bila terfikir balik, berapa banyak sangat orang dengan nama itu. Maka, aku bertanyakan sahabat - sahabat di Malaysia mengenai hal ini. Sah orangnya.
Hari ini, beliau telah menghembuskan nafas yang terakhir dan pergi menghadap Penciptanya. Aku hanya mampu duduk terdiam. Nak pergi ziarah, aku beribu batu jauhnya berjuang di negara orang. Beberapa jam selepas berita kematiannya, datang pula lagi satu berita mengatakan bahawa opah saudara aku juga telah kembali ke rahmatullah.
Hari ini, aku berada di dalam keadaan cukup tak tenang, resah.
Sahabat aku itu bernama Anis Amirah Ahmad Lutfi. Aku mengenalinya sewaktu tahun terakhir pengajian di Permatang Pauh. Secara umumnya, kami mengenali beliau sebagai seorang yang kecoh - kecoh.
Aku juga mengenali beliau sebagai seorang pencinta sastera. Tak kurang juga penulisannya yang aku biasa baca.
Kali terakhir aku jumpa beliau, sewaktu kenduri kecil - kecilan di rumah seorang sahabat berhampiran dengan kampus. Sewaktu itu, aku kembali ke Permatang Pauh untuk berjumpa dengan sahabat - sahabat aku buat kali terakhir, sebelum aku berangkat ke Melbourne untuk melanjutkn pengajian.
Siapa sangka, dalam aku kembali untuk berjumpa mereka, salah seorang daripada mereka aku takkan jumpa lagi buat selama - lamanya. Almarhumah berusia 22 tahun pada tahun ini. Melihatkan usianya sahaja boleh tahu dia peringkat adik. Selama ini aku sangka, adik - adik aku yang akan melihat aku pergi dulu.
Tapi Allah lebih mengetahui.
Selalu aku sebut, kehidupan mahasiswa di Pulau Pinang merupakan kenangan yang paling manis, yang takkan dapat dilupakan, baik alamiyyah mahupun ukhuwwah. Malam aku meninggalkan Pulau Pinang selepas tamat peperiksaan akhir merupakan malam yang sedih buat aku. Sepanjang pemanduan menghala ke selatan, aku mengenangkan kembali peristiwa - peristiwa yang berlaku sepanjang tahun.
Aku meninggalkan kampus Shah Alam tanpa sebarang kenangan manis. Kini di Melbourne, secara logiknya kehidupan di negara orang lebih manis kenangannya. Hakikatnya, aku masih tak lekang daripada mengingati Pulau Pinang serta sahabat - sahabat di sana. Melbourne masih tidak ada kenangan yang setanding, melainkan hanya kenangan alamiyyah.
Bila mereka dalam gembira, aku tumpang gembira. Bila mereka dalam duka, aku turut merasainya. Dan peristiwa kematian ini sememangnya menguji ketabahan diri. Sebak rasa bila mengetahui sahabat - sahabat lain menanti di luar wad hingga ke subuh.
Bahkan, di kalangan mereka juga menempuh perjalanan merentas negara di kala malam untuk berada bersama - sama dengan sahabat mereka yang sedang tenat.
Kami yang berada di luar negara hanya mampu menanti berita perkembangan melalui e-mel dan sms. Sepanjang penantian berita, ada yang berdiri tak tenang duduk tak puas, badan terketar - ketar, makan tak lalu, masak tak terdaya, merisaukan sahabat yang akhirnya telah pergi. Hanya doa dan kata - kata semangat yang mampu kami lakukan.
Semoga pemergian almarhumah pemergian husnul-khatimah, semoga ditempatkan di kalangan orang - orang beriman.
Selamat tinggal adik dan sahabatku, buat selama - lamanya.
Al-Fatihah.
Sunday, 18 July 2010
Wednesday, 14 July 2010
Cry Freedom - A Tale of Struggle For Equality
A couple of weeks ago, I watched a film on Fox Classics channel. It was titled Cry Freedom. The first time I watched this film was about ten years ago back in Malaysia. The film describes the days of South Africa during the Apartheid period.
It focuses on two real-life characters; Donald Woods, a South African journalist cum anti-Apartheid activist who befriended Steve Biko, a black activist.
In general, the film depicts a scenario of segregation among the whites and the blacks by all means of medium (i.e. public amenities, essential rights), and oppression of the security police towards the black community.
Throughout the time frame of this film, Steve Biko has been placed under house arrest; not being able to communicate with more than one person at any given time, ad restricted to travel within a certain boundary.
He was arrested as he was travelling to Cape Town to address a black youth's gathering. Eventually, he died in prison. The government described his death as caused by hunger strike. In reality, his death was a result of beatings while in prison.
Woods, during a visit to the mortuary secretly managed to capture snapshots of Biko's body with the help of a fellow journalist. Having obtained these, he decided to expose it internationally, but was arrested at the airport and was placed under house arrest.
However, Woods and his family managed to escape South Africa and seek asylum in Britain through a series of hitch-hiking, rendezvous to Maseru in Lesotho and then flying to Botswana.
This film really captures the heart of its viewers, judging by what one has to face in his struggle for justice, equality, freedom. Along the way, he risks losing his possession, his ease of life, and to a certain extent, losing his life.
In everything we do in this life, the journey to obtaining it is not always plain sailing throughout the way. There will always be resistances. There is nothing in this world that we achieve without toil and sweat...with the exception of cheating.
Struggling to achieve our goal and purpose is difficult at times. But once we get what we struggled for, victory is at its sweetest. Furthermore, we will appreciate our victory judging by what we had to go through previously.
But always remember, it is Allah and only Allah who decides whether we will achieve victory or otherwise. We as His servants can only struggle and pray for guidance. There is no such thing as success through strategic planning. It is only by His will that we shall ever see victory.
Man could spend endless hours of strategic planning, recruiting geniuses, investing millions. But if Allah does not grant victory, then man will not achieve it. But that doesn't mean Allah will never grant victory. He will, in due time, when the situation is right. We can only struggle and ask Him for success.
It takes one who has such an experience to understand this fact.
The song below, Nkosi Sikeleli Africa was illegal during the Apartheid period, and was sung during political meetings and gatherings. the song used to be a symbol of hope and unity. Today, it is part of the South African national anthem.
It focuses on two real-life characters; Donald Woods, a South African journalist cum anti-Apartheid activist who befriended Steve Biko, a black activist.
In general, the film depicts a scenario of segregation among the whites and the blacks by all means of medium (i.e. public amenities, essential rights), and oppression of the security police towards the black community.
Throughout the time frame of this film, Steve Biko has been placed under house arrest; not being able to communicate with more than one person at any given time, ad restricted to travel within a certain boundary.
He was arrested as he was travelling to Cape Town to address a black youth's gathering. Eventually, he died in prison. The government described his death as caused by hunger strike. In reality, his death was a result of beatings while in prison.
Woods, during a visit to the mortuary secretly managed to capture snapshots of Biko's body with the help of a fellow journalist. Having obtained these, he decided to expose it internationally, but was arrested at the airport and was placed under house arrest.
However, Woods and his family managed to escape South Africa and seek asylum in Britain through a series of hitch-hiking, rendezvous to Maseru in Lesotho and then flying to Botswana.
This film really captures the heart of its viewers, judging by what one has to face in his struggle for justice, equality, freedom. Along the way, he risks losing his possession, his ease of life, and to a certain extent, losing his life.
In everything we do in this life, the journey to obtaining it is not always plain sailing throughout the way. There will always be resistances. There is nothing in this world that we achieve without toil and sweat...with the exception of cheating.
Struggling to achieve our goal and purpose is difficult at times. But once we get what we struggled for, victory is at its sweetest. Furthermore, we will appreciate our victory judging by what we had to go through previously.
But always remember, it is Allah and only Allah who decides whether we will achieve victory or otherwise. We as His servants can only struggle and pray for guidance. There is no such thing as success through strategic planning. It is only by His will that we shall ever see victory.
Man could spend endless hours of strategic planning, recruiting geniuses, investing millions. But if Allah does not grant victory, then man will not achieve it. But that doesn't mean Allah will never grant victory. He will, in due time, when the situation is right. We can only struggle and ask Him for success.
It takes one who has such an experience to understand this fact.
The song below, Nkosi Sikeleli Africa was illegal during the Apartheid period, and was sung during political meetings and gatherings. the song used to be a symbol of hope and unity. Today, it is part of the South African national anthem.
Saturday, 10 July 2010
Ukhuwwah: Setulen Manakah Ianya Pada Diri Kita?
Setelah hampir setahun mental seolah - olah tersumbat, kini ianya bebas untuk merenung hakikat alamiyah...
Ukhuwwah; satu perkataan yang tak terasing dari kamus kehidupan kita. Sebut sahaja ukhuwwah, kita tahu ianya ada kena mengena dengan ikatan silaturahim sesama manusia.
Tahun 2005 - 2006 seingat saya dahulu merupakan tahun yang pekatnya dengan artikel - artikel dan ungkapan - ungkapan mengenai ukhuwwah. Siapa tak lupa pada ungkapan Ukhuwwah fillah abadan abada, ukhuwwah fillah membawa ke jannah. Siapa juga tak lupa pada artikel Cinta Anta Anti karangan Maszlee Malik.
Tahun 2005 - 2006, saya masih seorang mahasiswa di UiTM ketika itu. Dan pada usia muda ketika itu serta serba jahil dalam bab - bab ini, saya tak nafikan saya antara yang menyahut seruan - seruan ini dalam keadaan tak tahu ke mana halanya.
Saya tak mahu fokus pada definisi ukhuwwah, kerana semua sedia maklum akannya. Tapi, saya mahu fokus pada mentaliti terhadap hakikat ukhuwwah itu. Seringkali kita diingatkan oleh rakan - rakan, sahabat - sahabat kita untuk menguatkan, melahirkan, mengeratkan ukhuwwah sesama kita.
Hakikatnya benda itu tak menjadi pada ramai orang. Mengapa?
Antara sebabnya, ukhuwwah itu dijadikan satu bentuk material; satu kewajipan yang tercetak di atas rang undang - undang, perlembagaan. Ukhuwwah itu menjadi objektif utama wujudnya sesebuah aktiviti/program, sedangkan ukhuwwah itu letaknya di kalangan objektif sampingan.
Ukhuwwah itu satu bentuk fitrah yang wujud dalam diri setiap orang. Dan untuk menghasilkan ukhuwwah yang sebenar - benar ukhuwwah mestilah dengan kehendak diri, bukannya secara paksa rela atau birokrasi. Ukhuwwah yang lahir secara paksa rela ibarat enjin sejuk yang dibawa merentas lebuhraya; ketat dan tesengguk - sengguk.
Antara sebab lain ialah faktor kasta. Kerana perbezaan sejarah, latarbelakang, 'maqam', maka kita menjauhkan diri kita dari orang lain, dan hanya bergaul dengan mereka yang 'setaraf' dengan kita.
Apa yang istimewa sangat pasal diri kita hatta kita menyisihkan diri dari orang lain? Tidakkah manusia itu semuanya sama di hadapan Allah?
Ukhuwwah itu benda semulajadi, dan hanya boleh dijana secara semulajadi. Ukhuwwah yang wujud dalam diri kita, hanya kita sahaja yang boleh jana menjadi setulen - tulen ukhuwwah, bukannya melalui kertas kerja, bukannya melalui arahan berwajib, bukannya program - program mahabbah, perpaduan, ikatan kasih dsb.. Sepatutnya program - program seperti itu tempat kita membawa produk ukhuwwah yang dijana, bukannya tempat baru nak jana ukhuwwah.
Ukhuwwah; satu perkataan yang tak terasing dari kamus kehidupan kita. Sebut sahaja ukhuwwah, kita tahu ianya ada kena mengena dengan ikatan silaturahim sesama manusia.
Tahun 2005 - 2006 seingat saya dahulu merupakan tahun yang pekatnya dengan artikel - artikel dan ungkapan - ungkapan mengenai ukhuwwah. Siapa tak lupa pada ungkapan Ukhuwwah fillah abadan abada, ukhuwwah fillah membawa ke jannah. Siapa juga tak lupa pada artikel Cinta Anta Anti karangan Maszlee Malik.
Tahun 2005 - 2006, saya masih seorang mahasiswa di UiTM ketika itu. Dan pada usia muda ketika itu serta serba jahil dalam bab - bab ini, saya tak nafikan saya antara yang menyahut seruan - seruan ini dalam keadaan tak tahu ke mana halanya.
Saya tak mahu fokus pada definisi ukhuwwah, kerana semua sedia maklum akannya. Tapi, saya mahu fokus pada mentaliti terhadap hakikat ukhuwwah itu. Seringkali kita diingatkan oleh rakan - rakan, sahabat - sahabat kita untuk menguatkan, melahirkan, mengeratkan ukhuwwah sesama kita.
Hakikatnya benda itu tak menjadi pada ramai orang. Mengapa?
Antara sebabnya, ukhuwwah itu dijadikan satu bentuk material; satu kewajipan yang tercetak di atas rang undang - undang, perlembagaan. Ukhuwwah itu menjadi objektif utama wujudnya sesebuah aktiviti/program, sedangkan ukhuwwah itu letaknya di kalangan objektif sampingan.
Ukhuwwah itu satu bentuk fitrah yang wujud dalam diri setiap orang. Dan untuk menghasilkan ukhuwwah yang sebenar - benar ukhuwwah mestilah dengan kehendak diri, bukannya secara paksa rela atau birokrasi. Ukhuwwah yang lahir secara paksa rela ibarat enjin sejuk yang dibawa merentas lebuhraya; ketat dan tesengguk - sengguk.
Antara sebab lain ialah faktor kasta. Kerana perbezaan sejarah, latarbelakang, 'maqam', maka kita menjauhkan diri kita dari orang lain, dan hanya bergaul dengan mereka yang 'setaraf' dengan kita.
Apa yang istimewa sangat pasal diri kita hatta kita menyisihkan diri dari orang lain? Tidakkah manusia itu semuanya sama di hadapan Allah?
Ukhuwwah itu benda semulajadi, dan hanya boleh dijana secara semulajadi. Ukhuwwah yang wujud dalam diri kita, hanya kita sahaja yang boleh jana menjadi setulen - tulen ukhuwwah, bukannya melalui kertas kerja, bukannya melalui arahan berwajib, bukannya program - program mahabbah, perpaduan, ikatan kasih dsb.. Sepatutnya program - program seperti itu tempat kita membawa produk ukhuwwah yang dijana, bukannya tempat baru nak jana ukhuwwah.
Subscribe to:
Posts (Atom)